“Ongkos Politik Mahal, Akar Korupsi Kepala Daerah di Lampung”
- account_circle redaksi
- calendar_month Ming, 14 Des 2025
- visibility 10
- comment 0 komentar

DEMOKRATIS.ID – Bandar Lampung – Provinsi Lampung kembali menjadi sorotan nasional setelah salah satu kepala daerahnya tersangkut kasus korupsi.
Fenomena ini bukan kali pertama terjadi. Dalam dua dekade terakhir, sejumlah bupati dan wali kota di Lampung berurusan dengan aparat penegak hukum, mulai dari dugaan suap, gratifikasi hingga penyalahgunaan anggaran.
Pengamat politik Lampung, Candrawansyah, menilai kasus terbaru yang menyeret kepala daerah tersebut tidak lepas dari ongkos politik yang tinggi dalam proses pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Ia menyebut Lampung kerap menjadi barometer politik nasional karena dinamika politiknya yang kompleks.
Bahkan beberapa kali, sengketa Pilkada dari Lampung menjadi rujukan perubahan regulasi melalui uji materi undang-undang kepemiluan.
“Biaya politik kita sangat mahal. Bisa saja untuk menjadi kepala daerah tingkat kabupaten atau kota dibutuhkan dana tidak kurang dari Rp100–200 miliar, sedangkan untuk gubernur bisa mencapai Rp300–400 miliar,” kata Candra, yang baru terpilih sebagai Sekretaris Umum Fokal IMM Lampung kepada media onetime.id pada Jumat, (12/12/2025).
Menurut Candra, mahalnya ongkos politik menyebabkan sebagian kepala daerah terpilih terjebak pada komitmen balas budi terhadap donatur politik.
Mereka diduga harus mengembalikan dana yang telah dipinjam atau diterima selama masa pencalonan, termasuk kepada para penyandang dana yang berharap mendapatkan proyek pemerintah.
Ia menyebut pola itu membuat praktik korupsi dan penyalahgunaan kewenangan menjadi berulang, terutama ketika kepala daerah tertekan untuk menutup biaya kampanye atau memenuhi janji kepada jaringan politiknya.
Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, sumbangan dana kampanye memiliki batasan jelas dan wajib dicatat dalam rekening khusus dana kampanye yang dilaporkan kepada KPU.
Batas sumbangan perseorangan maksimal Rp75 juta, sedangkan sumbangan dari badan hukum swasta dibatasi hingga Rp750 juta.
Aturan tersebut dibuat untuk memastikan transparansi dan mencegah ketergantungan kandidat pada modal besar.
Pemilihan oleh DPRD Bukan Solusi
Menanggapi wacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD, Candra berpendapat bahwa opsi tersebut tidak otomatis menghilangkan praktik politik uang maupun korupsi.
“Menurut saya, itu juga bukan solusi. Yang lebih penting adalah mempertegas regulasi terkait politik uang serta memperbaiki mentalitas politisi dalam menjalankan peran sebagai kepala daerah,” ujarnya.
Ia menekankan perlunya pendidikan politik yang lebih sistematis bagi kader partai, termasuk pembenahan sistem rekrutmen internal agar parpol menghasilkan calon pemimpin yang berorientasi pada publik, bukan pada kepentingan penyandang dana.
“Partai harus mempersiapkan kader terbaik, bukan kader yang hanya kuat secara finansial. Itu bagian dari menciptakan kader bangsa untuk kemaslahatan rakyat,” tandas Candrawansyah.
- Penulis: redaksi

Saat ini belum ada komentar